Rencong Merupakan Senjata Tradisional Yang Berasal Dari Daerah
Rencong Merupakan Senjata Tradisional Yang Berasal Dari Daerah
Koropak.co.id
– Berdasarkan catatan sejarahnya, Rencong merupakan senjata tradisional yang digunakan di Kesultanan Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Aceh yang pertama, Sultan Ali Mughayat Syah.
Kedudukan Rencong sendiri di Kesultanan Aceh sangatlah penting, karena Rencong juga selalu diselipkan di pinggang Sultan Aceh. Selain itu, para Ulee Balang dan masyarakat biasa juga turut menggunakan Rencong.
Dilansir dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, Rencong emas milik Sultan Aceh juga dapat kita jumpai di Museum Sejarah Aceh, dan dari bukti sejarah tersebut juga dapat disimpulkan bahwa Rencong memang sudah terlahir sejak masa Kesultanan Aceh.
Namun, untuk pembuat pertamanya sendiri sampai saat ini belum diketahui. Rencong juga turut menjadi simbol keberanian dan kegagahan ureueng Aceh. Sehingga, bagi siapa saja yang memegang senjata itu, maka akan merasa lebih berani di dalam menghadapi musuh.
Pada masa sekarang, senjata tradisional khas Aceh ini memang sudah tidak begitu relevan untuk digunakan sebagai senjata penyerang. Kendati demikian, senjata ini masih relevan sebagai sebuah simbolisasi dari keberanian, ketangguhan dan kejantanan dari masyarakat Aceh.
Oleh karena itulah, pada beberapa upacara di Aceh, salah satunya seperti upacara pernikahan, rencong sering dipakai. Untuk pemakaian benda ini lebih mengarah kepada simbolisasi dari keberanian dari seorang lelaki dalam memimpin keluarga setelah menikah.
Sementara itu, dikutip dari acehprov.go.id, Rencong memiliki makna filosofi religius dan keislaman. Gagangnya yang berbentuk huruf Arab, diambil dari padanan kata Bismillah.
Kemudian, padanan kata itu juga bisa dilihat pada gagangnya yang melekuk, selanjutnya menebal pada bagian sikunya. Gagang rencong juga berbentuk huruf BA dan gagang tempat genggamannya merupakan aksara SIN.
Lancip yang menurun ke bawah pada pangkal besi dekat gagangnya merupakan aksara MIM dan pangkal besi lancip di dekat gagang yang menyerupai lajur-lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya melambangkan aksara LAM.
Sedangkan bagian bawah sarung memiliki bentuk huruf HA, sehingga keseluruhan hurup yang ada pada Rencong adalah “BA, SIN, MIM, LAM, HA” dan susunan huruf yang terbaca itu membentuk kalimat Bismillah.
Ini tentunya merupakan lambang yang memperlihatkan karakteristik masyarakat Aceh yang sangat berpegang teguh pada kemuliaan ajaran Islam.
Secara umum rencong atau Rincong yang menjadi senjata andalan dalam sejarah masyarakat Aceh dikenal terbagi menjadi beberapa jenis.
Berikut 5 jenis Rencong yang menjadi senjata andalan masyarakat Aceh:
1. Rencong Meucugek
Disebut rencong meucugek, dikarenakan pada gagang rencong tersebut terdapat suatu cugek atau meucugek yang dalam istilah Aceh seperti bentuk panahan dan perekat.
2. Rencong Pudoi
Dalam masyarakat Aceh, istilah pudoi sendiri berarti belum sempurna alias masih ada kekurangan. kekurangannya itu dapat dilihat pada bentuk gagang rencong tersebut.
3. Rencong Meupucok
Keunikan dari Rencong ini memiliki pucuk di atas gagangnya yang terbuat dari ukiran dari gading atau emas. Untuk bagian pangkal gagangnya dihiasi emas bermotif pucok rebung atau tumpal yang diberi permata ditampuk gagang dan keseluruhan panjang rencong ini lebih kurang 3 centimeter. Selain itu, untuk bilahnya terbuat dari besi putih dan sarungnya dibuat dari gading serta diberi ikatan dengan emas.
4. Rencong hulu puntong
Keunikan dari Rencong puntong pada Hulu Puntung adalah, belati yang ditempa dengan loga. Untuk kepala Rencongnya terbuat dari tanduk kerbau dan sarungnya dari kayu.
5. Rencong Meukure
Rencong ini mempunyai perbedaa dengan yang lainnya yakni pada mata rencong yang diberi hiasan tertentu seperti gambar bunga, ular, lipan dan sejenisnya.
seiring dengan perjalanan waktu, senjata Rencong semenjak Aceh bergabung dengan Indonesia sampai dengan sekarang perlahan-perlahan pusaka ini berubah fungsi dan hanya menjadi barang suvernir atau cenderamata serta pelengkap pakaian adat Aceh pengantin pria.*
Daftar Isi:
- 1 Mempelajari Sejarah Husain bin Ali bin Abi Thalib dari Tari Tabot
- 2 Eksistensi Tradisi Babarit Pangandaran yang Keberadaannya Hampir Punah
- 3 Bongkar Pasang (BP), Permainan Legendaris Anak Perempuan Era 90-an
- 4 Mengenal 14 Tradisi yang Sudah Tidak Ditemukan Lagi di Etnis Mandailing
- 5 Mangongkal Holi dan Simbol Tingginya Martabat Sebuah Keluarga di Batak
- 6 Suku Anak Dalam dan Keteguhan dalam Mempertahankan Budayanya
- 7 Ungkapkan Syukur dengan Hajat Leuweung
- 8 Lebih Dekat dengan Prosa Cerita Melayu
- 9 Suku Sekak Konsisten Bersahabat dengan Alam
- 10 Uang Panai’ dan Prasyarat Pernikahan Bugis-Makassar
- 11 Sarsar Lambe, Tradisi Bertarung Adat Karo
- 12 Mengenal Tradisi Anjala Ombong dari Pesisir Barat Kepulauan Selayar
Mempelajari Sejarah Husain bin Ali bin Abi Thalib dari Tari Tabot
Koropak.co.id, 31 October 2022 07:10:04
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Bengkulu
– Irama Dol atau bedug dan alat musik tradisional lainnya bergema layaknya genderang perang. Tampak juga para penari, dengan busana warna cerah, bergerak lincah dan menari menggambarkan kisah kepahlawanan cucu Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wassalam, Husain bin Ali bin Abi Thalib beserta pasukannya dalam peperangan melawan pasukan Ubaidillah bin Zaid di Padang Karbala.
Gambaran itu pun tersaji dalam sebuah tarian khas Bengkulu yang dikenal dengan nama Tari Tabot. Tari Tabot sendiri merupakan tari kreasi baru yang menggambarkan upacara tabot atau tabut dengan inti dari tariannya adalah menceritakan kisah kepahlawanan Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Sementara itu, kata “tabot” berasal dari bahasa Arab yang artinya “peti mati”. Meskipun begitu dalam perayaannya, tabot tersebut ditujukan untuk menyebut sebuah bangunan serupa pagoda atau menara masjid bertingkat yang terbuat dari kayu atau bambu.
Nantinya, tabot itu akan diarak oleh sejumlah orang dalam perayaan. Dalam pertunjukan tari tabot, biasanya para penari akan mengenakan pakaian adat Bengkulu berupa baju longgar berlengan pendek, celana panjang, dan hiasan kepala yang semuanya berwarna cerah dan senada.
Menariknya, dalam tarian ini, baik perempuan maupun laki-laki diperbolehkan untuk ambil bagian. Tak hanya itu saja, para penari juga turut mengenakan aksesoris kepala yang menyerupai tabot, mahkota, membawa tongkat, dan selendang.
Tari tabot ini tidak mempunyai pakem. Sehingga, masing-masing kelompok pun bebas dalam membuat kreasi baru dengan tetap menyimbolkan suasana dalam perang di Karbala.
Baca:
Upacara Tabot dan Mengenang Husein Bin Ali Bin Abi Thalib
Biasanya, tari tabot ini ditampilkan dalam upacara tabot yang digelar setiap 1 s.d 10 Muharram atau bulan pertama dalam kalender Islam atau Hijriah, dan bertepatan dengan wafatnya Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Berdasarkan sejarahnya, tradisi ini berasal dari orang-orang Syiah, salah satu sekte di kalangan umat Islam, dari Iran (Persia). Tradisi ini pun selanjutnya dibawa oleh pekerja Islam Syi’ah yang datang ke Bengkulu dan dibawa oleh tentara Inggris saat membangun Benteng Marlborough.
Akan tetapi ada juga yang menyebutkan bahwa upacara Tabot pertama dikenalkan di Bengkulu sekitar 1685-an oleh Syekh Burhanuddin atau Imam Senggolo yang dikenal sebagai penyebar Islam di Bengkulu.
Sementara untuk tari tabot Bengkulu sendiri menggunakan pengiring musik yang ada di Festival Tabot, yaitu dol atau bedug. Untuk gerakan dari tarian ini merujuk pada sembilan tahapan yang dilakukan saat ritual Tabot.
Sebagian dari penarinya akan membawa panji-panji, tombak, dan pedang, sedangkan yang lainnya membawa tabot. Untuk gerakan yang mereka tampilkan mulai dari melompat sana-sini, terlentang, duduk, dan berdiri kembali. Gerakan tersebut diketahui menggambarkan suasana senang, tegang, dan duka.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat Bengkulu mulai kedatangan orang-orang Tionghoa, Jawa, dan daerah Sumatra lainnya. Mereka pun kemudian kawin-mawin hingga ikut mempengaruhi perubahan pemaknaan terhadap tabot.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Eksistensi Tradisi Babarit Pangandaran yang Keberadaannya Hampir Punah
Koropak.co.id, 30 October 2022 08:05:33
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jawa Barat
– Sebagai wujud ungkapan rasa syukur atas pendapatan hasil perkebunan dan pertanian yang melimpah, masyarakat di Kabupaten Pangandaran pun akan menggelar sebuah ritual syukuran atau hajat bumi yang dikenal dengan nama “Babarit” atau “Babaritan”.
Namun sayangnya, seiring perkembangan zaman, keberadaan dari tradisi masyarakat Pangandaran ini justru terancam hampir punah.
Jika menilik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), babarit atau babaritan ini merupakan sebuah ritual tahunan yang lahir dari adat Suku Sunda. Untuk proses ritualnya sendiri akan dilaksanakan setiap tahun pada hari, bulan dan tempat yang sama setiap tahunnya.
Seperti di daerah Dayeuhluhur Cilacap, prosesi Babarit itu akan dilaksanakan setiap pagi Jumat Kliwon memasuki bulan Mulud atau Maulid. Konon, tradisi Babarit ini dulunya dilaksanakan di area persawahan, tempat keramat, petilasan atau di makam leluhur.
Kemudian untuk rangkaian acara adat tahunan yang dilaksanakan selama beberapa hari atau minggu ini, sebelumnya akan diawali dengan sedekah ketupat pada hari Rabu Wekasan. Babarit juga digelar sebagai bentuk syukur atas kesejahteraan desa dan kecukupan berupa makanan dan minuman.
Tak hanya itu saja, tradisi ini juga digelar untuk memohon do’a kepada Allah Subhanahu Wata’ala agar bisa terbebas dari segala jenis bencana seperti gempa bumi, wabah penyakit, banjir, dan angin topan. Lalu bagaimana dengan asal usulnya?
Ketua Lembaga Adat Pangandaran, Erik Krisna Yudha mengatakan bahwa acara Babarit ini sudah ada sejak abad ke-15 seiring dengan keberadaan Galuh Pangauban di wilayah Ciputrapinggan, Pangandaran.
Baca:
Ungkapkan Syukur dengan Hajat Leuweung
“Tradisi Babarit ini berkembang di semua wilayah Galuh dan sudah menjadi tradisi turun temurun. Selain itu, hingga saat ini, masyarakat Pangandaran yang masih melaksanakan mayoritasnya ada di Kecamatan Sidamulih khususnya Desa Cikalong dan Desa sidamulih,” kata Erik.
Namun seiring berjalannya waktu, tradisi ini justru nyaris hampir punah. Oleh karena itulah, tradisi Babarit itu saat ini hanya berkembang secara rutin dan terorganisir yang hanya dilaksanakan di wilayah Kecamatan Sidamulih sebagai wilayah budayanya.
Sementara itu secara literatur sejarahnya, tradisi Babarit ini berawal dari sebuah kejadian di luar nalar. Konon saat itu, masyarakat sedang dilanda kekeringan dan wabah penyakit menular yang dipercaya disebabkan oleh roh jahat.
Roh jahat tersebut dianggap sudah menempati sebuah daerah yang menyebabkan berbagai penyakit ataupun wabah pada masa itu. Oleh sebab itulah, masyarakat pada zaman itu melaksanakan sebuah selamatan atau syukuran untuk meminta do’a kepada Yang Maha Kuasa.
Acara selamatan atau syukuran pun dilaksanakan dengan tujuan mengusir pengaruh roh jahat dan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar menurunkan hujan, sehingga tanah tidak kekeringan lagi.
Dalam perkembangannya, tradisi babarit ini diadakan untuk syukuran hasil bumi masyarakat dan selamatan untuk memperingati tahun baru Islam.
Tradisi ini juga sarat akan makna yang ada pada berbagai macam makanan yang tersaji dalam ritual tersebut. Selain itu, babarit juga mengandung tiga fungsi, yaitu fungsi agama, fungsi sosial dan fungsi budaya.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Bongkar Pasang (BP), Permainan Legendaris Anak Perempuan Era 90-an
Koropak.co.id, 29 October 2022 07:16:59
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jakarta
– Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju saat ini, banyak sekali permainan tradisional yang sudah dilupakan. Salah satu alasannya mungkin permainan tradisional itu dianggap sebagai permainan orang kampung.
Terlepas dari hal itu, apakah kalian khususnya perempuan masih ingat dengan permainan masa kecil bernama permainan Bongkar Pasang atau yang lebih dikenal dengan sebutan BP atau BePe.
Ya, bagi anak-anak kelahiran akhir 90-an sampai awal 2000-an pastinya mereka sudah tidak asing dengan permainan yang satu ini. Diketahui pada awal 2000-an, bisa dikatakan permainan boneka dalam bentuk kertas ini sangat digemari anak-anak terutama anak perempuan.
Selain paras bonekanya yang cantik, disertai baju dan aksesoris yang tidak kalah elok membuat betah anak kecil bermain. Tak hanya itu saja, harganya pun murah, sehingga hal tersebut sama sekali tidak begitu memberatkan orang tua.
Permainan BP ini juga hampir sama dengan boneka barbie yang bisa bergonta-ganti baju, model rambut, dan aksesori yang kini sudah tergantikan juga oleh permainan boneka digital yang ada di komputer, smartphone, dan gadget-gadget terbaru masa kini.
Menariknya, lembaran permainan BP sendiri memiliki jenis yang sangat beragam. Meskipun begitu, dengan dibanderol harga yang murah meriah, sehingga membuat banyak anak yang mengoleksi ragam jenis permainan ini.
Biasanya, dalam satu lembar kertas BP itu sudah ada dua karakter manusia, beberapa jenis baju, aksesoris, bahkan sampai dengan makanannya.
Dalam memainkannya, anak-anak dituntut untuk berhati-hati dalam melepas setiap komponen BP agar tidak sobek. Hal ini tentunya secara tidak langsung akan melatih anak untuk mengelola kesabaran dan juga kehati-hatiannya.
Selain bisa dimainkan sendiri, permainan BP ini bisa dimainkan bersama teman agar permainannya lebih mengasyikkan. Pada dasarnya, permainan BP sendiri hanya bongkar pasang pakaian saja.
Baca:
Lebih dekat dengan Permainan Tradisional Polisi-Penjahat
Akan tetapi di sisi lain, anak-anak juga bisa membangun sebuah bentuk menyerupai rumah atau bangunan lain dengan menggunakan kotak kardus pasta gigi, korek api, sabun mandi, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, permainan BP pun akan menjadi lebih menyenangkan dikarenakan anak-anak juga seolah tengah berlakon menjadi karakter boneka dengan rumah dan segala aktivitasnya. Permainan BP ini juga dapat mengajari anak mengenai kesopanan dalam berpakaian.
Hal itu dikarenakan pada saat bermain BP, anak-anak akan memikirkan pakaian apa yang cocok dan pantas untuk karakter mereka pada saat melakukan aktivitas tertentu seperti berangkat kerja, berbelanja, menghadiri acara formal, bermain, berlibur, sampai kegiatan sederhana seperti tidur.
Seiring berjalannya waktu, di zaman serba digital ini, ternyata permainan BP ini juga sudah tersedia dalam bentuk digital. Tak hanya itu saja, cara bermainnya pun sama persis, yaitu bongkar pasang pakaian dan juga aksesoris.
Permainan ini tentu saja sangat menarik perhatian anak kecil. Meskipun begitu, permainan BP versi digital ini tidak memberikan dampak positif sebanyak permainan BP tradisional.
Pasalnya, kemampuan sosial dan bahasa anak tidak terasah dikarenakan anak cenderung hanya melakukan kegiatan bongkar pasang tanpa ada kegiatan berlakon. Selain itu juga, jenis pakaian yang tersedia dalam satu aplikasinya pun sangat terbatas, sehingga dapat membatasi kekreatifan anak.
Mungkin saat ini permainan BP sudah jarang sekali ditemukan. Meskipun masih banyak toko yang masih menyediakan dan menjualnya secara online, akan tetapi minat terhadap permainan yang satu ini terbilang sangat rendah.
Padahal permainan BP itu dapat dikatakan sebagai permainan yang sangat mengasah imajinasi, kemampuan sosial, dan juga bahasa anak-anak.
Oleh karena itulah, sudah sepatutnya permainan legendaris ini perlu dikenalkan kembali kepada anak-anak kecil saat ini agar tetap lestari dan anak-anak juga tidak melulu hanya fokus bermain dengan gawai atau gadgetnya.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Mengenal 14 Tradisi yang Sudah Tidak Ditemukan Lagi di Etnis Mandailing
Koropak.co.id, 28 October 2022 07:11:21
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Sumatra Utara
– Mandailing dikenal sebagai salah satu etnis yang ada di Sumatra Utara. Masyarakat Mandailing biasanya menempati wilayah Tapanuli Bagian Selatan dan memiliki beragam tradisi dalam kehidupannya.
Dosen Universitas Negeri Medan, Fauziah Khairani Lubis dalam jurnalnya “Kearifan Mandailing dalam Tradisi Markobar” menyebutkan, setidaknya ada 14 tradisi lisan berasal dari etnis Mandailing yang dimana semua tradisi itu sudah tidak ditemukan lagi di tengah-tengah masyarakat atau bisa dikatakan sudah punah.
Diketahui, tradisi lisan dari Mandailing tersebut menggunakan diksi atau stastra yang sarat akan bahasa Mandailing yang penuh dengan makna mendalam dan juga enak didengar. Lantas, apa saja 14 tradisi lisan yang ada di Etnis Mandailing tersebut?
1. Mangambat
Tradisi Mangambat atau mencegah merupakan upacara menghalangi-halangi pengantin wanita yang akan dibawa oleh mempelai pria. Orang yang melaksanakan tradisi mangambat adalah anak laki-laki dari saudara perempuan dari ayah pengantin perempuan.
Dalam tradisinya, sepupu pengantin wanita itu akan mencoba untuk menghalangi dan berdialog dengan diksi-diksi tertentu. Sayangnya saat ini tradisi tersebut sudah mulai jarang diterapkan di etnis Mandailing.
2. Mangandung
Mangandung adalah semacam ratapan dan keluh kesah berbentuk nyanyian dari seorang istri seperti saat ditinggal mati suami atau anak gadisnya yang akan menikah. Seiring berjalannya waktu, tradisi ini juga sudah tidak ditemukan lagi di Mandailing.
3. Mangupa
Mangupa merupakan tradisi lisan yang dilakukan kepada anak laki-laki. Selain untuk menikah, mangupa juga dilakukan pada saat sang anak selamat dari bencana, meraih prestasi dan lain sebagainya. Dalam prosesinya, biasanya terdapat makanan khususnya gulai ayam dalam mangupa ini. Saat ini, tradisi mangupa juga hampir punah.
4. Manjeir
Manjeir adalah tradisi lisan yang digunakan untuk mengiringi tarian adat Mandailing, yakni tari tor-tor. tradisi ini juga saat ini bernasib sama dengan tradisi lainnya di Mandailing yakni hampir punah.
5. Mangalehen Mangan
Mangelehen mangan dikenal juga dengan tradisi upa-upa atau mendoakan hal-hal yang baik kepada anak perempuan yang akan menikah. Sayangnya tradisi lisan ini juga hampir punah.
Baca:
Enam Tradisi Unik Mencari Jodoh di Indonesia
6. Marbue-bue
Marbue-bue adalah tradisi lisan yang juga hampir punah. Dalam tradisinya, seorang ibu akan bersandung saat menidurkan anaknya.
7. Marolok-olok
Marolok-olok merupakan tradisi lisan yang digunakan saat pengantar pembicara ketika berada dalam upacara adat. Tradisi ini juga saat ini hampir punah.
8. Maronang-onang
Maronang-onang adalah tradisi berupa nyanyian pengantar tarian tor-tor remaja dan pemuda. Sayangnya, tradisi ini juga saat sudah jarang ditemukan.
9. Marungut-ungut
Marungut-ungut merupakan cara mendiskripsikan suasana hati yang galau dengan bersenandung. Tradisi ini juga sudah mulai punah dan jarang ditemukan di Mandailing.
10. Marsitogol atau Jengjeng
Marsitogol atau yang dikenal juga dengan jengjeng merupakan senandung keluh kesah yang diiringi oleh suling atau uyup-uyup. Tradisi masyarakat Mandailing ini juga sudah mulai sulit ditemukan.
11. Marburas
Marburas merupakan tradisi lisan yang menceritakan cerita lucu atau anekdot di kedai kopi, keramaian, maupun di tempat tidur. Sayangnya, tradisi ini juga mulai jarang ditemukan di tengah-tengah masyarakat Mandailing saat ini.
12. Markobar
Markobar dikenal sebagai tradisi lisan yang digunakan dalam acara-acara pernikahan dan lainnya. Dalam prosesinya, biasanya para tokoh-tokoh adat dan kampung akan berbicara di dalam satu tempat.
13. Marturi
Marturi merupakan tradisi lisan dengan menyampaikan dongeng atau cerita rakyat. Tradisi ini juga sudah tidak ditemukan lagi di masyarakat Mandailing.
14. Marmayam
Marmayam adalah tradisi berbentuk permainan anak-anak yang menggunakan bahasa Mandailing sebagai sarana permainannya. Tradisi ini juga sudah mulai jarang ditemukan seiring dengan kemajuan teknologi, sehingga membuat anak-anak kini lebih senang bermain gadget dibandingkan permainan tradisional.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Mangongkal Holi dan Simbol Tingginya Martabat Sebuah Keluarga di Batak
Koropak.co.id, 26 October 2022 12:18:51
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Sumatra Utara
– Mangongkal holi merupakan salah satu tradisi masyarakat Batak Toba dalam membongkar kembali tulang belulang dan menempatkannya kembali ke suatu tempat atau tepatnya di sebuah tugu.
Menariknya, kebudayaan masyarakat Batak Toba ini tetap dilestarikan sampai dengan saat ini. Biasanya, mangongkal holi ini berbentuk upacara. Dalam prosesinya, jasad para leluhur yang terkubur di dalam bangunan makam akan dikeluarkan.
Namun sebelum itu, diperlukan dulu persetujuan dari orang-orang yang dituakan dalam keluarga. Di sisi lain, tidak ada catatan pasti mengenai awal mula upacara Mangongkal Holi ini dilaksanakan.
Kendati begitu, secara tradisi dikatakan bahwa upacara ini akan ada jika arwah datang kepada salah satu anggota keluarga. Baik itu melalui mimpi atau pun penglihatan, lalu memohon untuk memindahkan tulang belulangnya ke tempat yang lebih layak.
Setelah mendapatkan persetujuan, barulah jasad leluhur itu akan dibawa pulang ke rumah untuk dibersihkan yang tentunya juga dengan proses ritual adat. Dalam proses inilah, pihak keluarga dari garis keturunan perempuan memiliki hak untuk membersihkan tulang belulang leluhur mereka.
Biasanya, tulang belulang leluhur yang sudah puluhan tahun tertanam di dalam tanah itu akan dicuci dengan air jeruk. Selain itu, agar tampak bersih tulang-tulang yang sudah berusia puluhan tahun tertanam dalam tanah dan dicuci air jeruk juga kemudian dilumuri air kunyit.
Setelah dikeringkan, barulah tulang-tulang leluhur mereka akan kembali dimasukkan ke dalam peti. Dengan diikuti sebuah prosesi adat, peti-peti itu pun akan diletakkan di hadapan keluarga untuk dido’akan kembali. Kemudian setelahnya akan dimasukan ke dalam makam baru.
Tradisi mangongkal holi ini juga tentunya memiliki tujuan utama dan tak sembarangan dilaksanakan, yakni untuk menyatukan jasad seseorang dengan kerabat keluarga yang dicintainya. Hal ini pastinya akan sangat terasa bagi seseorang yang meninggal dan dikubur di tempat yang jauh dari sanak keluarganya.
Oleh karena itulah, masyarakat setempat pun percaya, perlu adanya penyatuan agar jasad berada di satu tempat dengan jasad keluarganya, terlebih lagi bagi mereka yang merupakan suami istri. Di sisi lain, masyarakat Batak juga memiliki keyakinan bahwa jasad mereka harus disatukan dalam tempat yang sama.
Baca:
Tari Sigale-gale Samosir dan Kisah Kematian Manggale
Selain memiliki nilai religius, mangongkal holi juga menjadi bagian dari upaya menjaga silsilah keluarga. Sehingga dengan berada di satu tempat, maka generasi selanjutnya akan lebih mudah dalam mengetahui siapa-siapa saja nenek moyang atau generasi di atasnya.
Apalagi tradisi ini juga merupakan simbol tingginya martabat dari sebuah keluarga di Batak. Selain itu, mangongkal holi dipercaya akan mengangkat martabat sebuah marga dengan menghormati kedua orang tua dan para leluhur.
Biasanya, semakin indah dan mahal sebuah makam atau tugu, maka semakin jelas dan bergengsi pula status marga pemilik tugu tersebut. Melalui tradisi ini, orang Batak pun berharap limpahan berkat berupa keturunan, panjang umur, dan kekayaan.
Oleh karena itulah, tradisi ini bukanlah kegiatan sembarangan dan menjadi tradisi dengan biaya yang sangat banyak. Hal ini dikarenakan tradisi mangongkal holi dilakukan sesuai dengan adat Batak.
Tak hanya itu saja, marga yang menggelar mangongkal holi juga harus menjamu seluruh keluarga besar dan tetangga kampung yang ada di sekitarnya. Bahkan dalam pelaksanaan upacara ini juga biasanya turut dihidangkan daging kerbau.
Dalam pelaksanaan upacara ini juga dibutuhkan hewan yang akan dikurbankan. Sehingga tidak jarang masyarakat akan menggunakan kuda sebagai hewan yang dikurbankan. Selanjutnya dalam upacara ini juga harus disediakan kain ulos sebagai harapan agar selalu mendapat berkah.
Di satu sisi, tradisi ini digelar bertujuan untuk mengeratkan tali kekerabatan di antara keluarga atau marga. Hal ini dapat tercermin ketika keluarga menari tor-tor bersama serta saling memberikan salam dan memegang pipi.
Selama menari tor tor itulah, biasanya akan ada yang menyawer di atas piring yang diisi beras sebagai bentuk dukungan materiil untuk pesta adat besar yang sedang dilaksanakan. Hal ini tentunya dilakukan sebagai upaya membantu sanak keluarga agar acara berlangsung lancar.
Upacara mangongkal holi pun menjadi wadah untuk membahagiakan orang tua serta tempat berkumpulnya semua generasi marga. Dengan demikian memungkinkan semuanya untuk saling mengenal satu sama lain, mengenalkan silsilah keluarga besar, sarana edukasi adat dan lain sebagainya.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Suku Anak Dalam dan Keteguhan dalam Mempertahankan Budayanya
Koropak.co.id, 25 October 2022 12:07:47
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Sumatra Selatan
– Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki banyak budaya dan suku bangsa. Bahkan berdasarkan data Sensus Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010, Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa. Salah satunya adalah suku anak dalam yang berada di Sumatra Selatan.
Diketahui, suku anak dalam merupakan suku asli sekaligus menjadi suku minoritas di Indonesia. Biasanya mereka tinggal di pedalaman dan minim berinteraksi dengan dunia luar.
Tak hanya itu saja, suku anak dalam ini juga sampai dengan saat ini masih bertahan, dan dikenal sebagai suku yang teguh dalam mempertahankan budayanya. Lantas, bagaimana asal usul dari suku anak dalam ini?
Berdasarkan tradisi lisan, nenek moyang dari suku anak dalam ini berasal dari Maalau Sesat yang hidup secara nomaden di hutan rimba yang ada di Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas.
Akan tetapi di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa orang anak dalam sendiri berasal dari Pagaruyung yang mengungsi ke Jambi. Selain itu, ada juga sumber lain yang dikumpulkan Muchas pada 1975-an menyebutkan bahwa ia telah mempelajari berbagai cerita lisan mengenai suku anak dalam.
Sehingga Muchlas pun menyimpulkan bahwa suku anak dalam berasal dari 3 keturunan, yaitu Keturunan Minangkabau di Kabupaten Bungo Tebo dan Mersan, Keturunan Sumatra Selatan di Kabupaten Batanghari, dan Keturunan asli Jambi yang merupakan Kubu Air Hitam di Kabupaten Sarolangun Bangko.
Diceritakan juga bahwa suku anak dalam ini sebagai kelompok masyarakat yang pantang menyerah. Pada 1904-an, menjadi akhir dari perang antara Jambi dan Belanda. Saat itu, Jambi dipimpin oleh Raden Perang yang merupakan cucu dari Raden Nagasari.
Saat itu, Kerajaan Jambi dan Kesultanan Palembang tidak henti-hentinya berkonflik, meskipun mereka berasal dari rumpun yang sama.
Kemudian pada 1629-an, mereka pun akhirnya berperang, hingga yang tersisa dari pertempuran itu memilih untuk berdiam diri di hutan rumba, namun tetap sebagai 2 kelompok masyarakat yang berbeda.
Baca:
Tiga Suku Adat yang Berperan Besar Jaga Kelestarian Hutan Indonesia
Sementara itu, versi departemen menjelaskan bahwa ada 2 kelompok suku anak dalam yang memiliki adat istiadat, ciri fisik, bahasa, hingga tempat tinggal yang berbeda. Suku anak dalam yang tinggal di hutan belantara Musi, biasanya mereka akan berbicara dengan bahasa Melayu.
Ciri dari suku anak dalam ini yaitu berkulit kuning dan memiliki ciri fisik seperti ras Mongoloid. Karena mereka juga dipercaya merupakan keturunan kesultanan Palembang. Sedangkan untuk suku anak dalam yang tinggal di hutan Jambi, memiliki rambut ikal, kulit sawo matang, dan bentuk mata menjorok ke dalam.
Suku anak dalam ini tergolong ras Weddoid atau Wedda dan Negrito yang kemungkinan etnis ini berasal dari Kerajaan Jambi. Berbicara mengenai adat istiadatnya, suku anak dalam menganut sistem kekerabatan matrilineal, yakni terdapat keluarga kecil dan keluarga besar.
Untuk keluarga kecil, biasanya akan terdiri dari suami,istri, dan anak yang belum menikah. Sementara keluarga besar, terdiri dari beberapa keluarga kecil dari pihak kerabat istri.
Kemudian untuk anak laki-laki yang sudah menikah, mereka harus tinggal bersama keluarga kerabat istri. Satu keluarga besar itu tinggal di satu pekarangan yang memiliki 2 s.d 3 pondok. Disitu jugalah keluarga kecil tinggal.
Suku ini sendiri menganut sistem kepercayaan animisme. Meskipun begitu, ada juga beberapa keluarga yang menganut agama Islam. Sedangkan untuk pakaian dari suku anak dalam sendiri masih mengenakan pakaian yang sangat sederhana.
Pria akan mengenakan cawat, dan wanita akan mengenakan bawahan seadanya. Lalu untuk atasannya, hanya ditutupi kain. Suku anak dalam juga mempunyai beberapa aturan dalam menjalankan hidupnya, diantaranya masih mengandalkan nomaden, meminimalisir budaya luar dengan sangat ketat, serta melarang laki-laki dan perempuan berduaan.
Namun ketika mereka ketahuan, hukumannya akan di kawin paksa. Akan tetapi sebelum itu, mereka juga harus menempuh hukuman seperti dicambuk rotan karena dinilai sangat memalukan kedua belah pihak orangtuanya.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Ungkapkan Syukur dengan Hajat Leuweung
Koropak.co.id, 24 October 2022 07:13:38
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jawa Barat
– Tak hanya terkenal destinasi wisata pantainya yang indah, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat juga tak lepas dari budaya dan adat istiadatnya yang melekat di masyarakat sampai dengan saat ini.
Salah satunya tradisi yang masih tetap lestari di Pangandaran hingga sekarang adalah Hajat Leuweung, sebuah ritual adat yang diselenggarakan sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat dan karunia kekayaan alam melimpah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesian(KBBI), Hajat Leuweung berasal dari dua kata, yakni Hajat yang berarti niatan atau maksud, keinginan dan kehendak. Kemudian Leuweung yang dalam bahasa Sunda berarti Hutan.
Sehingga jika diartikan, Hajat Leuweung merupakan niatan masyarakat untuk memberikan rasa syukur kepada pemberi rezeki yang disediakan di hutan, perkebunan dan alam sekitar dengan tujuan meminta perlindungan dan selalu dijaga dari segala kesusahan.
Dengan demikian, masyarakat setempat pun menganggap prosesi Hajat Leuweung itu sebagai tradisi yang harus diwariskan agar masyarakat dapat terus menikmati hasil alam.
Di sisi lain, Hajat Leuweung juga dikenal sebagai upacara atau prosesi dalam meyampaikan rasa nikmat masyarakat khususnya di Pangandaran atas kekayaan alam yang telah diterimanya, baik itu yang menjadi daging dalam diri ataupun berupa uang dari hasil bumi.
Baca:
Hajat Huluwotan; Berawal dari Nazar Saat Kesulitan Air Bersih
Menariknya, ritual Hajat Leweung ini masih tetap eksis, bahkan dilaksanakan setiap tahunnya di Desa Panyutran, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran. Berdasarkan sejarahnya, ternyata tradisi ini sudah lama yakni sejak zaman nenek moyang mereka digelar di desa tersebut.
Biasanya, tradisi Hajat Leuweung sendiri akan diselenggarakan di dua lokasi yang dianggap masyarakat setempat sangat keramat, diantaranya Bale Paseban dan Makam Dewi Ayu Anggaswara yang berada di Dusun Balater.
Masyarakat setempat percaya bahwa Desa Panyutran yang dikelilingi oleh pegunungan dan hutan belantara itu sebagai persinggahan seorang Raja dan Dewi Ayu Angsangrawa yang menjadi tokoh penyebar agama Islam di daerah Desa Panyutran dan sekitarnya yang disebarkannya melalui tari ronggeng gunung.
Dalam pelaksanaannya, turut dilakukan juga pencucian benda pusaka kedung landu dan pedang panjang Kiai Mangku Negara. Benda-benda pusaka yang dicuci itu disimpan dalam kotak kecil di sebuah bangunan dalam area Bale Paseban Ating yang berlokasi di tengah hutan.
Dalam ritual ini juga turut dipamerkan bagian dari naskah lontar bertuliskan huruf Jawa kuno. Meski sudah berusia lama, namun naskah itu masih dalam kondisi yang baik, terlihat utuh dengan tulisan yang masih tampak jelas.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Lebih Dekat dengan Prosa Cerita Melayu
Koropak.co.id, 23 October 2022 12:09:24
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Jakarta
– Sesuai dengan namanya, sastra Melayu merupakan sastra yang berkembang di masyarakat Suku Melayu, suku yang tersebar di wilayah Asia Tenggara. Biasanya, kelompok etnis pada umumnya berasal dari orang-orang Austronesia.
Berdasarkan catatan sejarahnya, bangsa Melayu sendiri memiliki peninggalan naskah yang sangat banyak, yakni sekitar 8.000 s.d 10.000 naskah. Bahkan di Perpustakaan Nasional di Jakarta, naskah Melayu yang terdaftar sebanyak 953 naskah.
Nah, sastra melayu ini menjadi bagian dari tradisi masyarakat Melayu. Berdasarkan bentuknya, sastra Melayu dikelompokkan menjadi dua yakni prosa dan puisi.
Berbicara tentang prosa, ada 4 jenis yang termasuk dalam prosa cerita Melayu, yakni hikayat, mite, dongeng, dan legenda. Sebenarnya, sastra prosa sendiri ada yang beredar di kalangan keraton. Namun ada juga yang beredar di kalangan rakyat.
Di kalangan keraton, sastra prosa itu biasanya berupa tulisan ataupun naskah, seperti hikayat atau surat-surat raja. Sedangkan yang beredar di kalangan rakyat, sastra prosa itu berupa lisan seperti mite, legenda, dan dongeng.
Apakah kalian pernah mendengar istilah hikayat? Atau bahkan pernah membaca karya sastranya? Pada dasarnya, kata hikayat sendiri berasal dari bahasa Arab yakni hakaya yang bermakna bercerita. Secara umum, hikayat merupakan cerita yang relatif panjang dan berupa naskah tertulis.
Disebutkan bahwa banyak sastra Melayu berbentuk hikayat yang diperkirakan berasal dari Parsi pertengahan abad ke-14. Secara struktural, hikayat ini memuat tokoh utama yang dikelilingi oleh tokoh-tokoh pelengkap yang keseluruhannya mewakili sekelompok tertentu.
Sementara untuk karakteristik dari jenis prosa cerita Melayu ini adalah anonim atau tidak diketahui pengarangnya, arkais atau yang menggunakan bahasa lampau, mengandung kemustahilan, bersifat instanasentris, dan mengandung kesaktian si tokoh.
Hikayat berfungsi untuk menumbuhkan jiwa kepahlawanan, sarana pendidikan, sebagai hiburan, maupun sebagai pelipur lara. Contoh prosa yang termasuk hikayat, yaitu Hikayat Bayan Budiman.
Baca:
Mendedah Madihin, Sastra Lisan yang Terancam Punah
Selanjutnya ada Mite, salah satu bagian dari prosa cerita Melayu. Mite merupakan cerita tradisional yang terjadi pada masa lampau dan memiliki ciri khas, para pelaku atau tokoh dari ceritanya terdiri atas manusia suci ataupun manusia yang memiliki kekuatan supernatural.
Di dalam mite, biasanya terdapat anggapan atau kepercayaan masyarakat pada zaman dahulu terhadap keberadaan entitas lain selain manusia, seperti halnya dewa, batara, batari, maupun bidadari.
Selain itu, dalam mite tersebut juga ada anggapan masyarakat mengenai bagaimana kehidupan di bumi dibangun. Oleh karena itulah, mereka pun membangun kepercayaan diri dengan mempercayai bahwa di daerahnya terdapat sesuatu yang keramat. Contoh dari mite yaitu cerita Nyai Roro Kidul.
Pastinya kalian sudah tidak asing lagi dengan istilah legenda. Ya, pada dasarnya legenda merupakan bagian dari prosa cerita Melayu yang memiliki karakteristik hampir sama dengan mite. Biasanya, tokoh dalam legenda ini merupakan manusia yang memiliki sifat yang luar biasa dan kerap dibantu oleh makhluk ajaib.
Legenda sendiri sudah lama dimiliki oleh masyarakat Melayu sejak zaman dahulu dan disebarkan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Kemudian untuk para pelaku atau tokoh dalam legenda, divisualisasikan sebagai pelaku yang benar-benar pernah hidup di tengah-tengah masyarakat zaman dahulu.
Pada umumnya mereka juga merupakan orang-orang termahsyur. Legenda terbagi menjadi empat jenis, di antaranya legenda keagamaan, legenda alam gaib, legenda perseorangan, dan legenda setempat. Contoh dari legenda, yaitu Sangkuriang.
Prosa selanjutnya adalah dongeng. Istilah dongeng dalam prosa cerita Melayu ini merupakan cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi dan tidak terikat oleh waktu maupun tempat. Untuk pelaku dalam dongeng juga divisualisasikan seperti dalam kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi di dalam dongeng, para pelakunya tidak hanya mengacu pada manusia, namun juga terdapat tokoh lain yaitu binatang. Pada umumnya, perbuatan pelaku merupakan perbuatan yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Namun terdapat juga penggambaran perbuatan pelaku yang mengandung keajaiban. Dongeng terbagi menjadi empat jenis, di antaranya dongeng binatang, dongeng biasa, lelucon dan anekdot, serta dongeng berumus atau dongeng yang strukturnya diulang dan jenis dongeng ini jarang ditemukan dalam kolektif Melayu. Contoh dari dongeng, yaitu Dongeng Si Kancil dan Buaya.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Suku Sekak Konsisten Bersahabat dengan Alam
Koropak.co.id, 22 October 2022 12:17:11
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Kepulauan Bangka Belitung
– Orang Sekak atau Suku Sekak dikenal sebagai salah satu dari tiga kelompok besar suku laut di Asia Tenggara. Suku ini hidup di perairan Kepulauan Bangka dan Belitung dan terkenal sebagai pemandu perairan, penyelam, dan nelayan.
Menariknya, Suku Sekak ini juga dikenal sebagai suku yang tidak serakah dan sangat menghormati laut. Dalam kehidupannya di laut, mereka hanya akan mengambil apa saja yang dibutuhkan untuk makan satu hari dan juga menolak untuk menggunakan jala.
Selain sebagai juru seberang, mayoritas orang Sekak bekerja sebagai nelayan. Meskipun Suku Sekak bisa melaut lebih dari sepekan, namun mereka bukan nelayan dengan alat modern dan hanya menggunakan pancing, bubu atau perangkap ikan dari bambu.
Bahkan, kedua jenis alat yang digunakan orang Sekak ini selama berabad-abad sudah dikenal banyak orang di berbagai pelosok Nusantara. Akan tetapi orang Sekak sendiri baru menggunakannya di penghujung 1970 an. Karena sebelumnya mereka hanya mengenal tombak atau menyelam ke dasar laut.
Jika Suku Sekak menggunakan jala, hal tersebut dikhawatirkan akan mengangkut makhluk hidup laut lainnya yang bukan sasaran tangkapnya. Cara itu tentunya tidak sesuai dengan falsafah, hidup secukupnya, ambil seperlunya.
Di sisi lain, falsafah itu juga dianggap sesuai jika menangkap ikan dengan tombak dan teripang dengan menggunakan tangan. Namun penggunaan tombak itu sendiri untuk memastikan ikan sasaran yang terkena.
Sehingga, untuk menghindari kerusakan ekosistem dan mempertahankan falsafah, Suku Sekak pun membuat bubu yang memungkinkan ikan kecil tetap lolos dari perangkapnya. Sementara untuk ikan-ikan besar akan ditangkap.
Baca:
Tiga Suku Adat yang Berperan Besar Jaga Kelestarian Hutan Indonesia
Suku Sekak juga tidak sepanjang tahun mencari ikan. Selanjutnya, selama September hingga Januari biasanya mereka akan memancing. Sementara selama Februari s.d Agustus menjadi masa dalam mencari teripang yang hanya dicari di pesisir.
Orang Sekak juga ternyata tidak melaut sampai jauh ke tengah laut. Hal ini dikarenakan memori masa lalu mereka yang merupakan keturunan bajak laut. Terlebih lagi sampai pertengahan 1980-an, orang Sekak hanya mengenal kolek sebagai sarana transportasi.
Kolek sendiri merupakan perahu yang terbuat dari kayu tanpa layar atau mesin. Perahu itu juga sekaligus menjadi tempat tinggal setiap saat bagi orang Sekak. Sayangnya, hampir semua kolek musnah sejak adanya kebijakan hidup di darat pada penghujung dekade 1980-an.
Untuk memudahkan bantuan, orang Sekak bahkan dibuatkan rumah di darat. Sehingga saat ini, sebagian mereka menghabiskan hidup di darat. Mereka juga kini tidak lagi melaut secara subsisten atau hanya mencari kebutuhan satu hari.
Saat ini, Orang Sekak sudah hidup layaknya orang darat yang menginginkan sepeda motor baru, televisi baru, hingga rumah besar. Ketika hasil laut tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhannya, kini mereka mulai banting setir untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Banyak orang Sekak pun memilih bekerja di tambang timah ilegal. Tentunya pekerjaan tersebut bertentangan dengan falsafah hidup masyarakat Sekak yang bersahabat dengan alam. Padahal falsafah itu yang dipegang teguh orang Sekak selama ratusan tahun, sejak nenek moyang mereka.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Uang Panai’ dan Prasyarat Pernikahan Bugis-Makassar
Koropak.co.id, 21 October 2022 07:10:51
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Sulawesi Selatan
– Masyarakat Suku Bugis-Makassar memiliki prasyarat dalam pernikahan adatnya yang dikenal dengan Uang Panai’.
Namun dewasa kini, uang panai’ tersebut menjadi buah bibir dikarenakan nominalnya yang acapkali membuat kantong pria miskin ketar-ketir.
Berdasarkan sejarahnya, diyakini bahwa tradisi memberikan uang Panai’ oleh mempelai pria kepada mempelai wanita sudah ada sejak dulu. Bahkan tradisi ini juga telah menjadi bagian dari urat nadi kebudayaan Bugis-Makassar yang terus dirayakan sampai dengan saat ini.
Kendati nominalnya sangat tinggi, namun uang panai’ memuat tafsiran-tafsiran filosofis yang terus menghidupkan tradisinya. Salah satunya menjadi cerminan keseriusan pria tatkala ingin meminang tambatan hatinya.
Nominalnya yang tinggi itu disinyalir menjadi motivasi tersendiri bagi seorang pria agar senantiasa bekerja keras dalam mengumpulkannya.
Sebagaimana petuah Bugis, “Lapa nakulle’ taue’ mabbaina, narekko naulle’ni magguli-lingiwi dapurenge’ we’kka pitu” atau “Apabila seseorang ingin beristri, ia harus sanggup mengelilingi dapur tujuh kali.
Dikutip dari buku Sosiologi Bugis-Makassar (2022), dapur merupakan simbol utama dalam kehidupan rumah tangga. Sedangkan tujuh kali merupakan padanan jumlah hari.
Maka, sebelum seorang pria ingin berumah tangga, ia harus memiliki kesanggupan dalam memikul tanggung jawab untuk menghidupi keluarganya setiap hari kelak. Selain itu, uang panai’ juga menjadi bentuk penghargaan terhadap pihak (keluarga) mempelai perempuan.
Dengan nominal tertentu yang tinggi, hal tersebut dianggap sebagai “balasan” dari pihak laki-laki terhadap keluarga perempuan yang telah membesarkan dan mendidik anak perempuannya.
Kendati kehormatan seorang perempuan itu tidak dapat dipadankan secara materi atau uang, namun dibalik uang Panai’ yang tinggi itu, terdapat nilai kesungguhan, kerja keras, dan komitmen bagi pihak laki-laki dengan harapan kelak ia akan selalu teringat betapa sulitnya mendapatkan istrinya.
Sehingga dengan demikian, kemungkinan untuk berpisah dikemudian hari pun dapat diminimalisir. Di sisi lain, uang panai’ ternyata tidaklah sama dengan mahar.
Baca:
Sinamot, Uang Mahar yang Terkenal Sangat Mahal
Pasalnya dalam adat suku Bugis-Makassar ada beberapa istilah terkait dengan biaya pernikahan, yakni Sompa’ dan Dui’ Menre’ (Bugis) atau Doe’ Balanja (Makassar), dan inilah yang disebut sebagai uang Panai’.
Uang Panai’ juga diartikan sebagai “Uang Hantaran” dengan nominal tertentu yang harus diserahkan dari pihak mempelai pria kepada pihak mempelai perempuan yang sifatnya wajib menurut hukum adat Bugis-Makassar.
Sedangkan Mahar sendiri diartikan sebagai pemberian berupa emas, uang atau harta benda dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai syarat sahnya pernikahan menurut hukum Islam.
Uang panai’ biasanya digunakan untuk membiayai semua kebutuhan resepsi pernikahan dan diberikan kepada orangtua atau wali istri. Sedangkan mahar diberikan kepada istri dan menjadi hak mutlak bagi dirinya sendiri.
Selain uang Panai’, pihak mempelai wanita juga akan mensyaratkan Sompa’ atau Sunrang, yakni harta tidak bergerak seperti rumah, sawah atau kebun, dan erang-erang, yakni aksesoris, pakaian, kosmetik dan lain sebagainya.
Lalu, mengapa uang panai’ itu begitu tinggi?
Diketahui, ada berbagai faktor yang menyebabkan standar uang Panai’ tersebut dipatok begitu tinggi. Mulai dari latar belakang keluarga, status sosial-ekonomi, tingkat pendidikan hingga “konspirasi” para tante dari pihak mempelai perempuan.
Bagi kalian para pria yang ingin meminang gadis Bugis-Makassar, setidaknya ada 5 variabel utama yang bisa kalian pertimbangkan, diantaranya keturunan darah bangsawan yang pada umumnya ditandai dengan gelar “Andi'” pada nama mempelai perempuan.
Selanjutnya, tingkat pendidikan. Semakin tinggi status pendidikannya, maka akan semakin tinggi pula nominal uang Panai’ yang harus diberikan. Ketiga, status sosial-ekonomi, status pekerjaan, dan parasnya.
Selain 5 variabel itu, seringkali juga faktor lain berupa gengsi dan “konspirasi” dari para tante pihak perempuan juga ikut serta dalam menentukan berapa angka uang Panai’ yang harus dirogoh oleh pihak mempelai pria.
Meski uang panai’ tersebut begitu tinggi, namun ia seolah telah menjadi bagian dari kekayaan budaya suku Bugis dan Makassar yang hingga saat ini masih terus hidup.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Sarsar Lambe, Tradisi Bertarung Adat Karo
Koropak.co.id, 19 October 2022 07:10:09
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Sumatra Utara
– Saat Anda berkunjung ke Kabupaten Karo, Sumatra Utara, beragam jenis upacara bisa ditemukan, mulai dari kegiatan rutin tahunan, hingga tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun.
Satu di antaranya adalah tradisi bertarung khas Karo atau yang dikenal juga dengan nama Sarsar Lambe. Berdasarkan adat suku Karo, upacara ini dilakukan secara turun-temurun.
Bahkan berdasarkan sejarahnya, Sarsar Lambe merupakan tradisi yang dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. Pada masa itu, jika terjadi perselisihan atau permasalahan yang tidak menemukan jalan keluar, Sarsar Lambe menjadi pilihannya.
Tradisi ini sendiri dilakukan apabila musyawarah keluarga atau lembaga sudah tidak dapat ditempuh lagi. Namun sayangnya, seiring dengan berjalannya waktu, kini tradisi itu perlahan sudah dihapus dari bagian masyarakat Karo.
Dalam tradisi Sarsar Lambe, biasanya pisau akan dijadikan sebagai sarana untuk melakukan tradisi tersebut. Di mana dalam pertarungannya, dilakukan satu lawan satu dan diantara masing-masing pihak yang sedang berselisih tersebut menggunakan pisau sebagai senjatanya.
Akan tetapi, pertarungan tersebut tentunya akan dimulai dengan aba-aba dan akan diakhiri juga dengan aba-aba setelah ada pihak yang kalah.
Baca:
Tujuh Upacara Adat Suku Karo yang Tetap Eksis Hingga Kini
Menariknya, upacara adat Tanah Karo ini dilaksanakan di sebuah lapangan yang luas dan turut disaksikan pula oleh masyarakat suku Karo. Dalam upacaranya, akan dipasang umbul-umbul sebagai penanda arena upacara sarsar sedang berlangsung.
Kemudian, Ketua adat pun akan menengahi upacara yang dimana dalam pelaksanaannya, dilakukan antara kedua orang laki-laki yang sedang berselisih. Selanjutnya, setelah ketua adat memberikan pidato singkat, masing-masing petarung akan melaksanakan upacara Sarsar Lambe.
Tak hanya dijadikan sebagai ajang untuk menyelesaikan masalah, pertarungan dalam upacara ini juga merupakan sebuah tradisi yang menjunjung tinggi harga diri. Khususnya dilakukan jika sampai terjadi perselisihan, dan kedua belah pihak merasa benar.
Oleh karena itulah, harga diri pun dipertaruhkan dalam tradisi ini. Selain itu, adanya pihak yang meninggal dalam pertarungan pun menunjukkan dia yang bersalah dan hal tersebut disaksikan oleh penduduk lain yang menonton.
Seiring berkembangnya zaman semuanya berubah, dan perubahan karakteristik masyarakat karo yang dahulu hingga kini tentunya tidak luput dari peran serta ketua adat.
Ia berhasil merubah sudut pandang masyarakat Suku Karo, dengan memberikan pemahaman bahwa dalam menyelesaikan sebuah perselisihan, tidak harus dengan adanya pertumpahan darah.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Mengenal Tradisi Anjala Ombong dari Pesisir Barat Kepulauan Selayar
Koropak.co.id, 18 October 2022 12:09:10
Eris Kuswara
Koropak.co.id, Sulawesi Selatan
– Masyarakat di pesisir barat Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki sebuah kearifan lokal yang dikenal dengan tradisi Anjala Ombong.
Diketahui, Tradisi Anjala Ombong ini merupakan tradisi masyarakat setempat yang berkumpul dan menikmati hasil laut dengan melakukan penangkapan ikan secara massal.
Tradisi Anjala Ombong dilakukan oleh masyarakat di sekitar Pantai Sangkulukulu, Kecamatan Bontosikuyu. Dengan keunikan yang dimilikinya itulah, tradisi Anjala Ombong pun saat ini telah terdaftar sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia dari Sulawesi Selatan.
Dalam pelaksanaannya, masyarakat setempat akan berkumpul sejak pagi hari sembari membawa makanan, alat memasak, dan berbagai alat penangkap ikan tradisional seperti jaring, kail, jala dan lain sebagainya.
Masyarakat setempat itu juga akan sangat antusias dan berbondong-bondong untuk menuju ke muara Sungai Sangkulu-kulu. Biasanya, seorang pawang buaya yang oleh masyarakat setempat disebut dengan sakti akan memimpin tradisi ini.
Alasan dipilihnya seorang pawang buaya untuk memimpin tradisi, karena masyarakat percaya bahwa ada buaya yang menetap di muara Sangkulu-kulu sampai dengan sekarang.
Tak hanya akan memimpin dimulainya upacara, masyarakat menganggap seorang sakti itu memiliki ilmu sihir. Sehingga ia juga bertugas untuk mencegah terjadinya bencana atau tolak bala yang bisa terjadi pada hari Anjala Ombong.
Baca:
Mengenal Tongkat Sakti Warisan Leluhur Suku Batak
Selain itu, ada keunikan lain dari tradisi Anjala Ombong ini, yakni masyarakat setempat dapat menangkap ikan lompa yang sulit ditemukan kecuali di muara sungai. Namun, di hari Anjala Ombong dilaksanakan, ikan lompa tersebut justru akan penuh di sepanjang sisi muara.
Sementara itu, untuk prosesi Anjala Ombong yang dipandu oleh sakti sendiri akan dimulai pada saat air mulai surut dan akan berakhir jika air laut sudah mulai pasang.
Biasanya, masyarakat terutama kaum laki-laki, baik itu orang tua dan anak muda akan berhamburan melompat kedalam sungai dan mulai menangkap ikan.
Nantinya, hasil tangkapan itu akan dibawa ke perapian yang sudah disiapkan untuk segera dimasak agar dapat dinikmati bersama-sama. Akan tetapi, sebagian hasil tangkapannya juga akan dibagikan kepada warga lain, serta pendatang yang hadir menyaksikan tradisi tersebut.
Tradisi yang digelar setiap tahunnya ini juga merupakan salah satu bentuk rasa syukur atas hasil laut yang telah diberikan Tuhan, sekaligus juga sebagai sarana dalam merawat kebersamaan diantara masyarakat.
Tak hanya itu saja, tradisi Anjala Ombong juga tentunya menjadi salah satu simbol atau penanda identitas bagi budaya maritim masyarakat khususnya di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini:
Rencong Merupakan Senjata Tradisional Yang Berasal Dari Daerah
Source: https://koropak.co.id/17329/ragam-rencong-senjata-tradisional-kesultanan-aceh