Pengertian Berlomba Lomba Dalam Berbuat Baik Adalah

Pengertian Berlomba Lomba Dalam Berbuat Baik Adalah

Apabila sudah memahami fastabiqul khairat artinya berlomba-lomba dalam kebaikan untuk mendapatkan rida Allah SWT serta surga-Nya, ketahui cara melakukannya. Begini cara bersungguh-sungguh melakukan fastabiqul khairat melansir dari modul yang dipublikasikan University of Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA:

1. Niat yang Ikhlas

Cara bersungguh-sungguh melakukan fastabiqul khairat adalah didasari niat yang ikhlas. Ikhlas beribadah atau beramal shaleh untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena Allah. Kebalikan dari ikhlas adalah riya’ dan sum’ah, yakni beribadah karena ingin dinilai sebagai orang baik oleh manusia.

Ikhlas sebagai cara bersungguh-sungguh melakukan fastabiqul khairat dengan indah digambarkan dalam doa iftitah:

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku lillahi Rabbil Alamiin.” Jadi, ikhlas adalah melakukan segala hal lillah. Apa artinya lillah? ada tiga makna lillah: karena Allah, untuk Allah dan kepunyaan Allah.

2. Cinta Kebaikan dan Cinta kepada Orang Baik

Cara bersungguh-sungguh melakukan fastabiqul khairat adalah cinta kebaikan dan cinta kepada orang baik. Hal ini juga ada hubungannya dengan keikhlasan, yakni beramal semata karena Allah. Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik, maka kita menjadi cinta kebaikan sekaligus suka dengan orang yang gemar berbuat baik.

Inilah penegasan Allah SWT tentang cara bersungguh-sungguh melakukan fastabiqul khairat dalam Surat Al-Baqarah ayat 195:

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

3. Merasa Beruntung Melakukannya

Cara bersungguh-sungguh melakukan fastabiqul khairat adalah merasa beruntung jika melakukannya. Sikap ini hadir karena kita percaya dan yakin kepada Allah.

Jika iman sudah merasuk dalam jiwa, maka kita akan merasa beruntung jika terus melakukan perbuatan baik demi untuk menggapai rida-Nya.

Dijelaskan, jika perasaan demikian sudah muncul, maka semangat untuk berlomba dalam kebaikan atau cara bersungguh-sungguh melakukan fastabiqul khairat akan senantiasa berkobar tak pernah padam.

4. Meneladani Generasi yang Beramal Baik

Cara bersungguh-sungguh melakukan fastabiqul khairat adalah meneladani generasi yang selalu beramal baik. Era Rasulullah dan para sahabat adalah era “khairu ummah”, umat terbaik. Maka kita perlu belajar dan meneladani mereka.

Djelaskan, Rasulullah SAW dan para sahabat senantiasa bersemangat dan berjuang tanpa henti untuk menebar kebaikan pada semua orang, baik kepada orang mukmin maupun kafir.

five. Memahami Ilmu tentang Kebaikan

Cara bersungguh-sungguh melakukan fastabiqul khairat adalah memahami betul ilmu tentang kebaikan. Sayyidina Ali pernah berkata:

Baca :   Langkah Terakhir Membuat Gambar Cerita Adalah

“Tubuh kita ini selalu melewati enam keadaan, yakni sehat, sakit, mati, hidup, tidur dan bangun. Begitu pula ruh. Hidupnya hati adalah berkat bertambahnya ilmu, dan matinya akibat tidak adanya ilmu. Sehatnya hati adalah berkat keyakinan, dan sakitnya hati karena keragu-raguan. Tidurnya hati adalah akibat kelalaian, dan bangunnya hati karena zikir yang dilakukan.”


Opini, 03/10/2020 – Kita sesama muslim adalah saling bersaudara, jadi berlomba-lombalah dalam kebaikan bukan dalam keburukan, seperti yang telah Allah Swt firmankan dalam firman-Nya.


Q.S.Al-Baqarah:148


وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُواْ يَأْتِ بِكُمُ اللّهُ جَمِيعاً إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿١٤٨


Artinya: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpul kan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.(Q.S.AL-Baqarah:148)


Sebuah amal dikatakan hasan jika diniatkan ikhlas karena Allah Swt, pengertian dari berlomba-lomba dalam kebaikan disini adalah berlomba dalam mencari kebaikan yang diridhai oleh Allah. Sebagai manusia ciptaan Allah sudah sepantasnya kita untuk berlomba dalam mencari karuniaNya, dan untuk mencari karunia-Nya salah satunya adalah dengan berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya guna untuk bekal di hari akhir nanti.


Begitu pentingnya berbuat baik, dan jangan takut untuk meluangkan waktu dalam hal kebaikan. Ingatlah dunia itu hanya sementara, kelak masih akan ada hari dimana saat ini belum dapat kita lihat, belum dapat kita rasakan dan belum dapat kita mengangan-angannya. Untuk itu marilah luangkan waktu walau sejenak untuk kembali berbuat baik kepada sesama ataupun kepada semua makhluk ciptaan Allah.

Manusia tercipta sebagai manusia yang paling sempurna dan mempunyai anugerah dapat bersosial dengan yang lainnya. Gunakan waktu sebaik mungkin untuk bersosial baik dengan yang lainnya. Karena pada dasarnya, hamparan kebaikan sangatlah terhampar begitu luas, sampai luasnya bahkan kebaikan sekecil biji atau debu sekalipun. Maka apapun jika dilakukan dengan ikhlas akan menjadi kebaikan yang sangat berarti dan bernilai pahala. Namun, kesempurnaan yang dimiliki manusia sudah seharusnya kita memiliki sifat simbiosis mutualisme. Maksudnya sifat yang mampu memberikan kemanfaatan untuk orang lain.

Terhitung sejak pertama kali manusia terlahir ke dunia pasti membutuhkan bantuan dari orang lain. Begitu juga dengan orang lain, pasti suatu saat akan membutuhkan uluran tangan kita. Sedini mungkin kita harus membiasakan diri menebar kebaikan. Karena ketika seseorang melakukan kebaikan, maka dapat merasakan bagaimana rasanya berbagi kebahagiaan dan tentunya membawa hal yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain.

Baca :   Apakah Dana Pip 2022 Sudah Cair

Allah SWT berfirman:

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ (7) وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُۥ (viii)

Artinya: “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”. (QS Az-Zalzalah: seven-viii)

Fastabiqul khairat atau berlomba–lomba dalam kebaikan tidak dapat dilakukan secara sempurna jika berdasarkan niat saja, tentu ada sistem atau manajemen yang baik agar perbuatan baik itu menjadi sebuah representasi dari akhlakul karimah. Perbuatan baik kecil yang sering luput dari perhatian kita dan seringkali dianggap tidak bernilai yakni membuang duri di tengah jalan menjadi hal yang tampaknya remeh, tapi jika itu duri tidak disingkirkan, nantinya aka nothing orang yang terluka. Jika perbuatan baik yang tampak sepele sering dilakukan, maka Insyallah menjadi tumpukan kebaikan yang besar.

Sebaliknya, jika kita sering mengunjing keburukan orang, mungkin bagi kebanyakan dianggap sepele, tapi perbuatan kecil itu akan berdampak negatif secara luas. Bayangkan saja, betapa banyak kepanikan sosial, isu-isu, berita hoaks, stigma, pembentukan opini, bahkan akan berdampak besar di masyarakat. Tak hanya perbuatan baik yang kecil, melainkan perbuatan jahat yang jika rutin dilakukan, akan berdampak besar. Tidak ada dosa besar, melainkan dosa-dosa kecil yang selalu dilakukan. Walhasil pahala kita akan terkikis dan digerogoti secara perlahan oleh perbuatan yang tergolong sebagai kerugian bagi dirinya sendiri.

Dalam hal kebaikan yang dilakukan, Muhammad al-Amin al-Syinqîthî dalam Adhwâ` al-Bayân mengklasifikasi level perbuatan baik menjadi tiga level. Pertama, level terendah (al-hadd al-adnâ) yaitu berbuat baik atau melaksanakan kewajiban hanya sekadar melepaskan kewajiban, seperti membayar zakat. Termasuk dalam pengertian ini adalah bersedekah (sunnah), meski dengan sebiji kurma, sebagaimana dianjurkan dalam QS al-Zalzalah: seven-8. Kedua, level tengah atau sedang (al-hadd al-awsath) yaitu berbuat baik atau melaksanakan kewajiban dengan kadar secukupnya (kadar yang bisa sekadar menggugurkan kewajiban) dan berbagi dengan kepentingan diri sendiri, seperti tergambar dari anjuran Al-Qur`an agar bersikap moderasi (tidak berlebihan), termasuk dalam bersedekah. Ketiga, level tinggi (al-hadd al-aqshâ) yaitu berbuat baik atau melaksanakan kewajiban untuk orang lain, walaupun dirinya sendiri memerlukannya, seperti yang dilakukan oleh kaum Anshâr untuk kepentingan kaum Muhâjirîn.

Baca :   Konflik Antar Ras Dan Antar Suku Merupakan Contoh Konflik

Budayawan Emha Ainun Nadjib atau lebih dikenal Cak Nun mengatakan, terminologi nandur yang merupakan bahasa Jawa membuat Mbah Nun teringat kata waltandhur yang adalah bahasa Arab dan termaktub di dalam Al-Qur’an surat al-Hasyr ayat xviii. Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah SWT dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah SWT. Sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Hasyr:18)

Kedua kata itu memiliki kemiripan bunyi dan sesuatu yang dapat dikorelasikan di antara keduanya. Mbah Nun menyampaikan bahwa di dalam nandur (menanam, menginvestasikan) segala sesuatu hendaknya disertai dengan kesadaran waktu. Waltandhur punya arti ‘dan lihatlah’. Selengkapnya, kalimat di alam Al-Qur’an itu berbunyi: waltandhur nafsun ma qaddamat lighad, yang artinya “hendaknya setiap diri melihat ke belakang untuk proyeksi ke masa depan.”

Dengan demikian, Saya pun cukup setuju kalau ada yang bilang ‘Orang baik adalah orang yang suka memberi’. Akan tetapi memberi tidak memiliki batas yang sempit. Memberi tidak hanya sekadar soal materi. Pemberian materi, bagi saya, memiliki nilai paling kecil dibandingan dengan waktu dan tenaga yang memerlukan pengorbanan. Seperti misalnya donor darah. Kita memberikan sesuatu dari tubuh kita untuk orang lain. Sama luar biasanya dengan mereka yang sudah meninggal dan menyumbangkan organ-organ tubuhnya pada lembaga ilmu pengetahuan agar para ilmuwan bisa meneliti cara tubuh manusia bekerja. Pemberian semacam ini nilainya amat mahal dan kita harus berterima kasih pada mereka yang bersedia melakukan itu.

Janganlah berhenti untuk berbuat kebaikan! Bahwa bagi saya, seseorang yang bisa tetap berbagi dengan orang lain walaupun dengan segala kesulitan dan kekurangannya, dialah orang yang layak disebut orang baik.  Wallahu a’lam bisshawab

A’isy Hanif Firdaus, Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Al-Fajar, Sekretaris PR IPNU Dukuh Kedawon, Lembaga Pers & Penerbitan PAC IPNU Kecamatan Larangan, Brebes

Pengertian Berlomba Lomba Dalam Berbuat Baik Adalah

Source: https://memenangkan.com/pengertian-berlomba-lomba-dalam-berbuat-kebaikan-adalah

Artikel Terkait

Leave a Comment